Ternate – Pertumbuhan ekonomi di wilayah kepulauan timur Indonesia menunjukkan dinamika yang menarik dalam satu dekade terakhir. Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), Provinsi Maluku Utara mencatat rata-rata pertumbuhan ekonomi mencapai 11,88% sepanjang 2016–2024, jauh melampaui Provinsi Maluku yang tumbuh rata-rata 4,61% pada periode yang sama.
Perbedaan signifikan ini terutama dipicu oleh masuknya investasi besar di sektor hilirisasi nikel dan industri pengolahan di Maluku Utara, yang mendorong lonjakan pertumbuhan hingga 22,94% pada 2021 dan 20,49% pada 2022. Meski sempat melandai ke 13,73% pada 2024, angka tersebut tetap menunjukkan kinerja ekonomi yang jauh di atas rata-rata nasional.
Sebaliknya, Provinsi Maluku memperlihatkan tren pertumbuhan yang relatif stabil namun moderat. Angkanya berkisar antara 5–7% di sebagian besar periode, sempat turun tajam ke 0,91% pada 2020 akibat pandemi COVID-19, lalu kembali pulih secara bertahap ke 5,34% pada 2024.
Fenomena ini menunjukkan bahwa Maluku Utara telah menjadi salah satu episentrum pertumbuhan ekonomi baru di Indonesia Timur berkat transformasi industrinya. Namun, para pakar juga mengingatkan bahwa ketergantungan pada sektor ekstraktif berisiko tinggi terhadap fluktuasi harga global dan tantangan lingkungan.
LeSPOMIK menilai bahwa perbedaan pola pertumbuhan ini menjadi bahan refleksi penting: Maluku Utara harus menjaga keberlanjutan melalui diversifikasi dan tata kelola SDA yang bijak, sementara Maluku perlu mendorong sektor unggulan lain seperti perikanan, pariwisata bahari, dan energi terbarukan untuk memperkuat daya saing jangka panjang.
Dengan dinamika ini, Maluku dan Maluku Utara sesungguhnya sedang memainkan dua peran berbeda: satu sebagai motor pertumbuhan berbasis hilirisasi industri, dan satu lagi sebagai penjaga stabilitas dengan potensi pembangunan berbasis SDA lestari.